MEMBUMIKAN KEADILAN HUKUM DI TENGAH CARUT MARUT PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Persoalan serius yang terjadi pada penegakan hukum di Indonesia tengah dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan mulai dari beberapa fakultas hukum yang semestinya mengumandangkan keadilan dijadikan corong utama dalam nilai penegakan hukum namun justru yang menjadi tren penegakan hukum adalah Kepastian Hukum dengan mengabaikan rasa keadilan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.

Hal ini menimbulkan dampak yang sangat serius dalam Penegakan Hukum kita, Penegak Hukum yang merupakan produk dari pendidikan Hukum yang bertebaran di antero Indonesia tidak lagi mampu menangkap subtansi atas permasalahan namun tidak jarang hanya mengutamakan pada aspek Formalitas hukum, sehingga Fungsi hukum sebagai sarana memperlancar Interaksi Sosial malah tidak tercapai.

Masyarakatpun sudah pandai memahami dan menafsirkan bahwa Penegakan hukum di Indonesia seperti sebuah drama (DAGELAN), karena mulai awal proses sampai produk akhir penegakan hukum tersebut sering tidak linier dengan rasa keadilan masyarakat, penegakan Hukum yang berkeadilan tak ubahnya seperti kertas suci yang berterbangan hamparan laut, bahkan tidak jarang yang berpendapat bahwa  sesungguhnya penegakan hukum seperti berada dalam sebuah lorong gelap yang panjang.

Membahas Penegakan hukum aneh rasanya jika tidak mengingat teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai kerangka ukur efektifitas Penegakan hukum yang di urai dalam 5 (lima) hal yaitu: 1). Faktor Hukumnya sendiri, 2). Faktor Penegak Hukum, 3). Faktor sarana/Fasilitas yang mendukung, 4). Faktor kesadaran hukum Masyarakat, 5). Faktor Budaya Hukum, diakui atau tidak lima factor tersebutlah akan sangat berbengaruh Terhadap Penegakan Hukum.

Masyarakat yang menerima cara itu sebagai salah satu kerangka berfikir untuk mengukur penegakan hukum yang didalamnya penuh dengan kelemahan dan kekurangan tetap bisa berjalan dengan baik jika dilaksanakan oleh Penegak Hukum yang baik, karena sejatinya hukum sebagai salah satu rekayasa sosial tidak terlalu bermakna dan mempunyai pengaruh yang signifikan jika dijalankan oleh Penegak hukum bermoral relative buruk, jika tidak ingin mengatakan Bobrok, hal tersebut hamper terjadi pada semua elemen penegak hukum, seperti ditubuh Polri, Kejaksaan dan Lembaga peradilan, realitas inilah yang menjadikan praktik penegakan hukum muncul masalah dan istilah tajam ke bawah tumpul keatas, muncul mafia hukum, namun Hal demikian tidak dimaksudkan bahwa semua penegak hukum adalah buruk. Namun, karena tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, perilaku penyimpang itu menutup perilaku baik penegak hukum yang lain.

Namun sangat naïf rasanya jika menyalahkan factor Penegak hukum namun melalaikan Faktor lain, karena selain dari penegakan hukum yang kronis juga ada factor kesadaran hukum masyarakat yang juga tidak mengalami perkembangan namun justru generasi milenial tercatat lebih banyak melakukan pelanggaran hukum yang semestiny dengan akses informasi yang terbuka luas menjadikan masyarakan mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, ironinya terkadang masyarakat menjadikan minimnya sosialisati aturan sebagai salah satu Penghambat masyarakat memahami aturan, namun jika diberi sosialsasi hukum tidak bersedia, padahal karakteristik masyarakat Indonesia akan terlihat jika masyarakat  sudah sadar hukum, sebagaimana dasar Negara Indonesia.

Cara pandang yang menempatkan penegak hukum sebagai faktor dominan tidak mungkin pula dilepaskan dari pengalaman perbaikan serangkaian peraturan perundang-undangan sebagai salah satu factor efektifitas hukum, terutama yang terkait dengan penegakan hukum. Langkah perbaikan itu seperti tidak memberi pengaruh signifikan karena tidak jarang aparat penegak hukum  kita terjebak dalam krisis moralitas, karakter serta perilaku menyimpang penegakan hukum. Penyimpangan-penyimpangan yang ada menjadikan hukum seperti mengalami pembusukan yang amat serius.

Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, adalah lembaga yang menjadi sorotan publik. Sebagai ujung tombak penegakan hukum, institusi tersebut seharusnya sigap, Penegakan hukum memerlukan mereka yang mampu dan mau berubah serta bergerak cepat. Merujuk pada sejumlah peristiwa besar/mega skandal yang melibatkan aparat/lembaga penegak hukum, selalu tersedia kesempatan untuk memperbaiki diri. Sayang, kesempatan yang ada belalu begitu saja.

Di tengah carut marutnya penegakkan hukum, tidak berarti harapan untuk menggerakkan penegakan hukum yang berkeadilan akan hilang diterpa angin,
Selain penegak hukum harus membuktikan independensinya dalam menyelesaikan setiap proses pengadilan terhadap siapa saja tanpa pandang bulu. Hukum ditafsirkan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang diimplementasikan dalam setiap keputusan hakim.

Selain itu untuk membumikan keadilah hukum formulasi restorative justice sangat dibutuhkan dalam segala aspek masalah, karena Indonesia adalah masyarakat yang berbudaya dan beradap maka tumpuan penyelesaian harus mulai bergeser, tidak bertumpu pada penegak hukum, namun menumbuh kembangkan kesadaran hukum masyarakat dan pemilihan penyelesaian masalah dengan jalan musyawarah akan lebih berkeadilan dalam beberapa perkara sehingga keadilan Hukum substantive yang tidak merugikan pihak-pihak adalah sebagai solusi atas keadilan yang tidak jelasarahnya.

Jadi independensi peradilan dan formulasi restorative justice sebagai cara penyelesaian masalah adalah syarat mutlak bagi terciptanya rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Tinggalkan komentar