NEPOTISME DAN KEMUNAFIKAN

IMG_20141206_074224_HDR

NEPOTIS SEBAGAI BAJINGAN NEGARA

Oleh: Nurrun Jamaludin S.H.I

Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”, secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan atau hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti (1) perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; (2) kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; (3) tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Sedangkan menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Faktanya, praktek nepotisme masih kerap dilakukan di Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum dalam proses perekrutan pegawai baru, baik di instansi-instansi Pemerintah dan perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta. Masyarakat masih menganggap bahwa tindakan nepotisme tidak melanggar hukum seperti halnya korupsi. Padahal, pengesahan Undang-undang  No 28 Tahun 1999 itu sudah merupakan dasar hukum sah yang melarang praktek nepotisme, bersama dengan korupsi dan kolusi.

Praktik nepotisme jelas merugikan dan menyakitkan, karena bertentangan dengan asas keadilan dan hak asasi manusia. Secara prinsip, setiap warga negara berhak untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk bisa menghasilkan pendapatan yang layak pula sehingga mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga. Namun, jika untuk mendapat pekerjaan yang layak harus terganjal oleh adanya praktik nepotisme, maka pastilah banyak rakyat yang harus hidup di bawah standar sejahtera.

Pada tahapannya Instansi yang memiliki pegawai-pegawai tetap (berstatus PNS) dan peagawai-pegawai honorer yang direkrut melalui jalur rekrutmen resmi. Jalur rekrutmen resmi ini dilakukan melalui beberapa tahap yaitu tes tertulis (tes psikologi dan tes kemampuan akademik) serta wawancara dengan pimpinan-pimpinan instansi tersebut, tanpa melibatkan oknum nepotis tersebut. Saat seorang pegawai baru memperkenalkan diri, pertanyaan pertama yang diajukan oleh pejabat nepotis tersebut adalah, “Anda bawaan siapa?” Ketika pegawai tersebut mengatakan bahwa dia masuk melalui rekrutmen resmi, pejabat itu malah mencibir pegawai baru.

Praktek nepotisme yang dilakukan oleh oknum tersebut sudah melampaui batas kewajaran. Contoh kasusnya, ada seorang keponakannya yang lulusan SMK jurusan Teknik direkrut menjadi staf bagian keuangan walaupun tidak sesuai dengan kompetensinya. Ketika tiba saatnya pengajuan pengangkatan CPNS, staf keuangan ini tiba-tiba telah menyandang titel Sarjana Ekonomi di belakang namanya. Hal ini terjadi hanya setahun setelah ia masuk kerja. Padahal masih banyak pegawai-pegawai honorer lain yang masa kerjanya lebih lama, belum mendapat kesempatan untuk diajukan menjadi CPNS.

Pegawai-pegawai yang merupakan kerabat pejabat nepotis ini seolah membentuk dinasti atau ‘gank’ tertentu di instansi ini. Hal ini berakibat pada terciptanya iklim kerja dan budaya kantor yang tidak sehat. Para pegawai yang masih berkerabat ini mendapat prioritas dalam pengajuan pengangkatan CPNS, serta mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai kesempatan pengembangan karier, seperti penugasan ke luar daerah, kepanitian acara-acara yang diadakan oleh instansi, sampai keikutsertaan dalam diklat, pelatihan dan seminar pengembangan diri.

Kondisi lingkungan kerja yang demikian sangat tidak menguntungkan dan tidak adil bagi pegawai lainnya. Hal ini berdampak pada menurunnya motivasi dan semangat kerja, serta penurunan kinerja pegawai yang masuk melalui jalur rekrutmen resmi. Akibatnya, banyak pegawai honorer yang mengundurkan diri.

Kondisi ini malah dimanfaatkan oleh si oknum pejabat nepotis itu untuk membuat opini yang menyatakan bahwa proses rekrutmen resmi tidak efisien karena hanya menghabiskan anggaran serta menghasilkan pegawai rekrutmen yang tidak kompeten dan berkinerja buruk. Pejabat tersebut malah membanggakan prestasi kerabatnya dan malah menyarankan kepada koleganya untuk merekrut beberapa kerabatnya lagi.

Tidak hanya di dunia kerja, namun saking melekatnya  sifat setan pada diri nepotis tersebut sehingga mereka melebarkan sayap  ke dunia akademik, dimana mereka menggunakan jabatannya atau pun menggunakan fasilitas instansi  untuk merekrut keluarganya. kasus yang terjadi pada salah satu instansi negara yang mempunyai kewenangan memberikan beasiswa, dimana beasiswa itu ada dua bentuk yaitu beasiswa bagi siswa miskin dan beasiswa prestasi. Dimana beasiswa miskin di peruntutkan bagi orang yang menginginkan pendidikan tetapi kurang dari segi materinya, sehingga pemerintahpun memberikan beasiswa bagi orang yang kurang mampu, dan beasiswa prestasi merupakan beasiswa yang diperuntutkan bagi siswa yang mempunyai kapasitas lebih yang di buktikan prestasinya dalam dunia akademik.

Namun setelah penulis temukan dilapangan hal itu berbanding terbalik, dimana beasiswa tidak tepat sasaran karena memang disalah gunakan oleh oknum nepotis, karena yang seharusnya di peruntutkan bagi siswa miskin dan siswa yang cerdas itu hanya cerita di balik meja, jika ada yang menanyakan beasiswa pada oknum-oknum tersebut, jawabannya satu “saya kurang tahu masalah beasiswa” saya rasa kemuanafikan yang tolol. Ketika dibahasakan beasiswa ini adalah BEASISWA KELUARGA PEGAWAI. Hal ini sangat merugikan bagi orang yang berhak (siswa miskin dan siswa cerdas), karena mereka yang ingin membangun negeri dengan kapasitasnya di renggut oleh oknum-oknum yang ada, sangat bodoh bukan. Yang lebih anehnya nepotisme ini bukan dalam instasi umum tapi berada dalam instansi yang sangat paham akan KEMUNAFIKAN, MAU DIBAWA KEMANA NEGERI INI???????????????????????????????

Indonesia tanpa nepotisme akan menjadi negara yang maju dimana pada instansi negeri ataupun suwasta tidak di isi orang munafik yang merugikan orang lain dan lebih menjaga hak asasi manusia. Semoga dengan berkembangnya teknologi akan diikuti pengembangan otak yang tidak kolot, yang lebih mementingkan bangsa dan negara bukan mementikan perut dinastinya. AMIIIN !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Tinggalkan komentar